Di tengah keragaman jajanan gorengan yang memanjakan lidah di Indonesia, kuee memiliki tempat tersendiri. Bentuknya yang unik, rasanya yang gurih, dan teksturnya yang renyah menjadikan camilan favorit berbagai kalangan. Lebih dari sekedar gorengan biasa, cakue menyimpan cerita sejarah yang menarik dan telah beradaptasi dengan berbagai cita rasa lokal, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari khazanah kuliner Nusantara.
Jejak Sejarah: Dari Tiongkok Hingga Merambah Nusantara
Cakue, yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti you tiao (油条) dalam bahasa Mandarin, memiliki akar sejarah yang kuat di Tiongkok. Konon, hidangan ini diciptakan sebagai bentuk protes terhadap seorang pejabat korup bernama Qin Hui pada masa Dinasti Song. Masyarakat penggorengan adonan yang dibentuk menyerupai dua sosok manusia yang saling membelakangi sebagai simbol kemarahan mereka terhadap pengkhianatan tersebut.
Seiring dengan migrasi pedagang Tiongkok ke berbagai belahan dunia, termasuk Asia Tenggara, kuee pun ikut menyebar. Di Indonesia, kuee diperkirakan mulai dikenal sejak masa kolonial Belanda dan cepat beradaptasi dengan lidah lokal. Nama "cakue" sendiri merupakan serapan dari dialek Hokkian.
Sederhana Namun Memikat: Bahan Dasar dan Proses Pembuatan
Kelezatan cakue terletak pada kemudahan bahan dan teknik pembuatannya yang menghasilkan tekstur unik. Bahan dasar utama kuee adalah tepung terigu, baking powder atau soda kue, garam, dan air. Beberapa resep juga menambahkan sedikit minyak sayur atau susu untuk menghasilkan tekstur yang lebih lembut.
Proses pembuatannya membutuhkan ketelitian agar kuee mengembang sempurna dan memiliki rongga udara di dalamnya:
*Pembuatan Adonan: Semua bahan dicampur dan diuleni hingga kalis. Adonan kemudian diamkan selama beberapa jam atau semalaman agar mengembang.
*Pembentukan Adonan : Adonan yang telah mengembang kemudian dipotong memanjang menjadi dua bagian. Kedua potongan ini ditumpuk dan ditekan sedikit di bagian tengah menggunakan sumpit atau alat lainnya.
* Penggorengan: Adonan yang telah dibentuk kemudian digoreng dalam minyak panas dengan api sedang hingga berwarna kuning keemasan dan mengembang sempurna. Proses penggorengan ini harus dilakukan dengan cepat agar kuee tidak menyerap terlalu banyak minyak.
Teknik menggabungkan dua potongan adonan sebelum digoreng inilah yang menghasilkan ciri khas cakue dengan dua bagian yang menyatu dan berongga di tengahnya. Rongga ini memberikan tekstur renyah di luar dan sedikit kenyal di dalam.
Adaptasi Rasa: Cakue dalam Ragam Sajian Nusantara
Di Indonesia, kue tidak hanya dinikmati sebagai camilan polos. Kreativitas kuliner lokal telah menghasilkan berbagai cara penyajian dan kombinasi rasa yang menarik:
* Cakue Bumbu Kacang: Ini adalah cara penyajian kuee yang paling umum dan digemari. Cakue yang telah digoreng disajikan dengan siraman saus kacang yang manis, gurih, dan pedas. Taburan bawang goreng dan irisan timun seringkali ditambahkan sebagai pelengkap.
* Cakue Isi: Beberapa pedagang berinovasi dengan mengisi adonan cakue sebelum digoreng dengan berbagai bahan seperti daging ayam cincang, udang, atau sayuran.
* Cakue dengan Bubur Ayam: Di berbagai daerah, cakue menjadi pelengkap yang tak terpisahkan saat menikmati bubur ayam. Tekstur kuee yang renyah memberikan kontras yang menarik dengan lembutnya bubur.
* Cakue dengan Soto: Sama seperti bubur ayam, cakue juga seringkali menjadi teman setia saat menikmati soto Betawi atau soto ayam lainnya.
* Cakue Goreng Tepung: Beberapa variasi cakue digoreng kembali setelah dilumuri adonan tepung, menghasilkan tekstur yang lebih kriuk.
Adaptasi ini menunjukkan bagaimana cakue telah menyatu dengan selera dan tradisi kuliner lokal, menjadikannya lebih dari sekadar hidangan impor.
• Menjelajahi Kelezatan Cakue di Berbagai Sudut Kota
Menemukan penjual kue di Indonesia bukanlah hal yang sulit. Mulai dari pedagang kaki lima dengan gerobak sederhana hingga restoran yang menyajikan hidangan peranakan, cakue selalu memiliki penggemarnya. Biasanya, penjual kuee juga menjajakan gorengan lain seperti odading (roti goreng) atau bolang-baling.
Aroma kuee yang baru digoreng sangat menggiurkan dan akhirnya menjadi daya tarik tersendiri. Menikmati kue hangat di pagi hari sebagai teman minum kopi atau teh adalah kebiasaan yang menyenangkan bagi banyak orang. Sensasi renyah di luar dan lembut di dalam, ditambah dengan rasa gurih yang pas, membuat kuee menjadi camilan yang sulit ditolak.
Cakue di Era Modern: Tetap Eksis dan Berinovasi
Meski banyak jajanan modern bermunculan, cakue tetap mampu mempertahankan eksistensinya. Apalagi beberapa inovasi baru terus bermunculan, baik dari segi rasa maupun penyajian. Beberapa kedai atau restoran mencoba menghadirkan kuee dengan topping atau saus yang lebih kekinian, seperti saus keju, saus pedas manis ala Korea, atau bahkan disajikan sebagai bagian hidangan dari fusion.
Keberadaan kuee dalam bentuk beku juga semakin memudahkan para penggemarnya untuk menikmati camilan ini di rumah kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa cakue memiliki daya tahan dan isian untuk terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Kesimpulan
Cakue adalah contoh nyata bagaimana sebuah hidangan sederhana dapat memiliki sejarah yang kaya dan mampu beradaptasi dengan berbagai budaya kuliner. Dari simbol protes di Tiongkok hingga menjadi camilan favorit di Indonesia, kuee telah menempuh perjalanan panjang dan terus memikat lidah banyak orang. Kelezatan gorengannya yang renyah, rasanya yang gurih, dan kemampuannya untuk dipadukan dengan berbagai hidangan lain menjadikan cakue sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kuliner warisan yang patut terus dinikmati dan dilestarikan. Jadi, kapan terakhir kali Anda menikmati kelezatan kue yang renyah dan gurih ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar